PEREMPUAN MADURA DALAM POLITIK
Isu gender laki-laki dan perempuan dalam politik selalu menjadi tema menarik untuk dibahas dan dikupas, namun di Madura isu gender menjadi hal tabu untuk diperbincangkan dalam ruang-ruang publik. Kentalnya mindset patriarkis yang disebabkan pembagian peran dalam kehidupan tradisi sosial berdampak pada partisipasi politik perempuan yang masih jauh dari cita-cita kesetaraan gender nasional.
Peran gender tersebut dipengaruhi oleh akulturasi antara kebudayaan
lokal dengan dialektika ajaran islam yang sangat kental. Dalam perpaduan itu
peran gender terlihat dalam kehidupan sosial madura seperti kegiatan Lalabat,
mantan, otok-otok, Kharjeh, tahlilan dll. Dalam kegiatan itu peran
laki-laki dan perempuan terbagi, laki-laki sebagai penyambut tamu dan perempuan
yang mengatur ketersediaan hidangan.
Menurut adat istiadat posisi perempuan Madura dimata laki-laki
sangat dimuliakan dengan menempatkan perempuan bagian dari harga diri laki-laki
yang selalu dijaga baik keamanan hidup dan ekonominya dalam ruang lingkup
keluarga dan sosial. Namun disisi lain perempuan harus melaksanakan
aktivitas-aktivitas seorang istri yang melayani suami sebagai bagian norma budaya
kehidupan berumah tangga.
Gender yang merupakan serangkaian karakteristik dan perbedaan antara
maskulinitas dan feminitas ini memiliki dampak yang besar terhadap posisi
perempuan dalam politik. Budaya patriarkis kepemimpinan dalam masyarakat
misalnya yang selalu berpusat pada tokoh laki-laki sehingga perempuan madura tidak
memiliki peran politik. Walalupun ada sebagian pemimpin seperti kepala desa maupun
anggota DPRD perempuan itu lebih disebabkan oleh faktor genetik (keturunan
tokoh laki-laki) yang masih dikontrol langung oleh orang tua laki-laki atau
suami yang berlatar belakang tokoh, bahkan sebagian besar pemimpin perempuan di
Madura hanya sebatas yang-dayang (pemimpin de jure bukan de
facto).
Peran Perempuan dalam Politik Nasional
Secara nasional Pemerintah telah berupaya memasukkan isu gender dalam
semua kebijakan sebagai upaya melaksanakan kesetaraan gender. Untuk memperkuat
peran perempuan Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau Convention on the Elimination of All
Forms of Discriminination Against Women (CEDAW) melalui Undang-undang Nomor
7 Tahun 1984.
Kemudian diperkuat melalui Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang berisi mengharuskan
seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional dirancang dengan perspektif
gender. Dalam Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal
49 juga menegaskan “Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam
pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai persyaratan dan peraturan perUndang-undangan.”.
Secara regulasi politik telah diperkuat dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
politik sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang nomor 2 Tahun 2011 yang
menegaskan kepengurusan Partai politik dan pencalonan legislatif harus menyertakan
keterwakilan 30 % perempuan.
Jika kita melihat data keterwakilan perempuan di legislatif mengalami
fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 2004 sebanyak 61 perempuan dari
total 550 kursi DPR RI atau 12% keterpilihan. Pada Pemilu 2009 mengalami
peningkatan cukup drastis keterwakilan perempuan di parlemen yang disebabkan bertambahnya
jumlah kursi yang semula 550 menjadi 560 kursi, sebanyak 101 dari 560 kursi
atau 18 % keterwakilan perempuan di Parlemen. Namun pada Pemilu 2014 mengalami
penurunan hanya 17% keterwakilan perempuan atau hanya 97 kursi dari total 560
kursi. Pada Pemilu 2019 naik lagi menjadi 20% atau 120 perempuan yang menduduki
kursi parlemen, itu pun ada penambahan jumlah kursi sebanyak 15 kursi menjadi
575 kursi DPR RI. Dari data tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa indeks pemberdayaan
gender dalam politik masih minim.
Peran Politik
Perempuan di Madura
Data keterwakilan perempuan DPRD di empat Kabupaten pulau madura
pada Pemilu tahun 2019 masih dibawah 10 %. Kabupaten Bangkalan hanya 3 orang
perempuan dari total 50 kursi DPRD, Kabupaten Sampang hanya 3 orang dari 45
kursi, Kabupaten Pamekasan hanya ada 2 keterwakilan perempuan dari total 45
kursi, dan Kabupaten Sumenep ada 4 perempuan terpilih dari 50 kursi DPRD.
Sedangkan menurut BPS tahun 2018 data kades berjenis kelamin
perempuan sangat timpang dibandingkan jumlah kades jenis kelamin laki-laki. Kedes
di Kabupaten Bangkalan hanya 7 perempuan dari total 270 Desa, Kabupaten Sampang
sebanyak 17 perempuan menjadi kades dari total 186 Desa, Kabupaten Pamekasan 31
perempuan Kades dari total 187 Desa, dan Kabupaten Sumenep ada 57 perempuan
menjadi kades dari total 331 Desa.
Keterwakilan perempuan di kursi legislatif daerah dan terpilihnya perempuan
menjadi pemimpin Desa menunjukkan masih minimnya peran dan kontribusi perempuan
dalam politik. Bahkan dari sejumlah keterwakilan tersebut rata-rata karena faktor
genetik dan kekuatan laki-laki dibelakangnya baik orang tua maupun suami yang
menjadi tokoh sentral.
Minimnya peran dan keterwakilan perempuan tersebut sebab musababnya
dikarenakan budaya patriarkis yang masih bertahan sampai saat ini, sistem
politik dan fasilitasnya yang kurang mendukung sampai ke tingkat regional/ lokal,
Pendidikan perempuan yang yang tidak merata dan biaya politik yang cukup mahal.
Peraturan perUndang-undangan yang memuat norma 30% keterwakilan
perempuan seharusnya didukung dengan regulasi teknisnya disertai dengan
fasilitas yang memadai sehingga peran perempuan dalam politik dapat terwujud.
Bukan hanya tingkat nasional saja tapi juga regulasi tingkat daerah Perda
maupun Perbup harus memuat peran perempuan dalam semua bidang sehingga
keterwakilan perempuan ditingkat lokal dapat terwujud. Jika dari arus bawah
keterwakilan perempuan terwujud maka tingkat nasional sangat mudah diwujudkan.
Dorongan Pemerintah lokal maupun nasional tersebut harus berwujud
norma dan teknis pelaksanaan yang mendorong perempuan dalam banyak bidang. Baik
dalam kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi maupun dalam Pemerintahan.
Sehingga lambat laun akan tercipta kesadaran masyarakat yang cukup tinggi
tentang peran perempuan dalam politik. Terwujudnya keterwakilan perempuan
tersebut dapat membawa aspirasi perempuan dengan isu-isu seputar perempuan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya